Kamis, 01 September 2016

Resahku menjelang wisuda



Sudah lama sekali tidak bercerita tentang kehidupan kampus. Ada banyak episode yang terlewatkan. Perlu untuk diketahui bahwa rasa bangga itu tetap ada di dalam diri ini. Mesti sempat terbesit mengapa tidak disana, rasanya hal yang wajar saja. 

Tiga tahun lamanya, baru kali ini bisa membuka kembali blog tempatku bercerita tentang apa yang aku lalui dan rasakan. Sempat kesal karena lupa email dan pasword. But berkat google, i can solve this part.

Oh ya, kabar baiknya sekarang nama ku telah memiliki gelar sarjana. Baru satu bulan sih. Pada bagian lain akan aku ceritakan perjuangan tugas akhir hingga sidang sarjana. Kali ini aku ingin bercerita keresahan diriku menjelang wisuda yang tinggal menghitung hari. 

Hari ini tepat tanggal 1 September 2016, dua puluh hari lagi aku akan berada di gedung bersejarah itu. Bagi kebanyakan orang membayangkan memakai toga dan menantikan namanya disebut di muka umum dengan predikat yang mereka raih terkesan indah dan membuat jantung berdetak terasa lebih kencang. Apa yang aku rasakan kali ini sedikit berbeda. Ada rasa cemas yang aku rasakan.

Bagiku 21 September 2016 nanti akan menjadi hari dimana aku secara resmi dilepas sebagai seorang pengangguran terbuka. Tidak ada lagi status mahasiswa sebagai tamengku. Nyatanya aku belum mendapatkan kerja. Dan itu begitu meresahkanku. 

Tidak memungkiri bahwa apa yang akan dirasakan oleh keluargaku adalah kebahagian dan kebanggaan luar biasa. Ibu akan meneteskan air mata bahagia melihat anak bungsunya kini resmi jadi sarjana. Kakak-kakakku akan begitu bangga melihatku mengenakan baju toga. Mungkin Ayah juga akan tersenyum bahagia di syurga sana pada hari itu. Kamu tentu tahu alasannya bila sempat membaca tulisan-tulisan yang sempat aku posting beberapa tahun lalu. 

Akankan hari itu aku bisa tersenyum lepas, tertawa bersama teman-teman tanpa terganggu oleh pikiran-pikiran ini. Semoga!. 

Aku sebagaimana ceritaku dulu adalah anak bungsu. Begitu banyak harapan tertumpu pada diriku. Aku selalu ingin mewujudkan setiap mimpiku menjadi nyata. Bukan sekedar imajinasi biasa. 

Nyatanya kehidupan ini tidaklah semudah berimajinasi. Semua perlu usaha keras dan harus melewati banyak ujian. Kalau dipikir yang instan kayak mie instan saja perlu proses buat bisa dimakan dengan enak apalagi hidup. 

Jadi ingat pesan dosen penguji dan pembimbing sesaat setelah ujian sidangku selesai, beliau berpesan kepadaku untuk senantiasa bersabar dan terus bersabar. Aku memang orang yang bisa dibilang egois, emosional, dan enggak sabaran. Awalnya aku kira itu pesan biasa saja. Semakin hari, aku mulai merasa bahwa ada arti mendalam dari apa yang disampaikan oleh beliau. 

Aku yang pernah bermimpi untuk bisa bekerja sebelum diwisuda.

Sempat berpikir untuk memundurkan jadwal wisuda pada gelombang berikutnya. 

Untunglah orang-orang baik masih Allah kirimkan untuk menyadarkankan aku betapa percumanya apa yang akan aku lakukan itu. 

Pertanyaan besar terus merasuk pikiranku. Seperti, apakah mereka yang kini telah sukses sempat merasakan fase yang sama seperti diriku?. Apa yang mereka kerjakan pasca wisuda?. Apa mereka langsung mendapat pekerjaan impian mereka?. Apa mereka sering mengalami penolakan selama melamar kerja?. Apa mereka sempat merasa kebingungan mau jadi apa?. Sesal kemudianlah yang hadir, kenapa pertanyaan itu tidak muncul saat diriku masih duduk di bangku kuliah, kenapa aku tidak mencari tahu lebih banyak semasa aktif berorganisasi. Aku hanya disuguhi sisi sukses luar biasa oleh kampusku, fakultasku, bahkan oleh jurusanku tentang alumni yang berwirausaha. Tentang mereka yang bekerja pada suatu lembaga atau perusahaan aku tidak mendengar banyak!. Aku tidak mendapat banyak pencerahan dimana alumniku bekerja. Aku hanya mendapati bahwa mereka menapaki hampir seluruh bidang pekerjaan!, wow keren!, tapi pekerjaan apa?, tanpa spesifikasi yang jelas. Aku hanya mendengar mereka diterima dibanyak tempat karena kemampuan mereka yang baik dan tentunya karena lulus dari kampus ternama ini. Tapi dimana dan bagaimana prosesnya, aku tidak mendapati informasi yang jelas. 

Kala semua orang terbuai lewat kata tanpa bukti nyata, rasanya sia-sia. Aku percaya rejeki itu ada, aku hanya penasaran bagaimana fase yang menimpa pada tiap-tiap orang. Disadari betul apa yang aku alami dan rasakan saat ini adalah bagian dari fase jalan hidupku mengawali kehidupan pasca kampus. Oleh karenanya kutulis saja apa yang ingin aku sampaikan, agar kelak aku kembali dapat mengingatnya.

Ciamis, 01 September 2016
23.42.

Jumat, 01 Maret 2013

Bersama sang mentari yang membakar kulit.


Sore ini aku tertegun di bawah bangunan megah, berdiri di depanku sebuah pohon rimbun. Sekeliat memejamkan mata, sekeliat membukanya kembali. Dan hari ini sungguh luar biasa Allah begitu menyayangiku. Memberiku pelajaran lewat seorang anak yang nampak berjalan mendekat, membawa setumpuk sampah botol dalam karung yang ukurannya jauh lebih besar dari badannya sendiri. Hari ini aku disadarkan oleh nya. Bahwa aku tak sepantasnya menikmati kehidupan ini sendiri. Masih banyak orang yang tidak bisa menikmati masa santai seperti ku saat ini. Angin berhembus begitu kencang seolah memberi semangat pada sang bocah. Buah asam berjatuhan ke tanah, sesekali jatuh di atas kap mobil yang di parkir di bawah rindangnya pohon.  Memberi suara yang khas. Entah lucu bagi diriku sendiri atau membuat marah yang empunya mobil.

Entah karena iba atau apa, aku coba untuk meberanikan diri. Menyapa dan bingung apa yang mau aku katakan. Aku seolah kehabisan kata, menatap raut wajah nya yang nampak begitu lelah. Senyum kecil merekah dari bibirnya, setelah itu ia hanya menatapku bingung. Ada banyak yang ingin aku tanyakan tapi bibir ini sepertinya sudah terkunci begitu kuatnya. 

“Dek, kelas berapa?”. 

“Kelas dua kak”

Hanya itu pecakapan yang terjadi di antara kami. Selembar uang yang ada di saku depan kemejaku aku berikan saja padanya. Entah apa yang membuatku seolah membisu.

“Terimakasih kak”. Masih tampak bingung. Dia pun beranjak meninggalkanku, menyeret sekarung sampah yang begitu besar. Aku sesekali ingin memakinya. Aku ingin berkata bahwa tidak seharusnya kamu melakukan itu semua. Aku ingin sekali berteriak di depannya. Apa yang kamu bawa itu tidak sebanding dengan badanmu sendiri, apa yang kau panggul itu lebih pantas untuk menjadi tempat bermain anak-anak seusiamu bahkan bisa dipakai untuk tiga orang dengan ukuran badan sepertimu. Aku ingin memarahinya. Kemana Ibumu? Ayahmu? atau saudaramu yang lain, dimana mereka? Aku sangat kesal hari itu. 

Memang emosi jiwaku seolah hanya jeritan biasa. Jika aku utarakanpun hanya akan menjadi bahan tertawaan bagi yang mendengar, atau menjadi beban bagi dia yang aku maki. Aku tahu dia bekerja seperti itu mungkin karena suatu hal. Tapi bagiku, aku sangat tidak tegak melihatnya seperti itu.  Kamu masih harus bermain di usiamu yang sangat belia itu. Biarlah ketirnya hidup tidak dulu untuk kamu rasakan. Kamu masih perlu bermain, mencari kesenangan bersama teman sebayamu tanpa harus memiliki beban hidup. Inikah potret buram negeri ini. 

Aku hanya sedih karena dia mengantarkanku pada ingatan beberapa tahun lalu. Tatkala aku tidak bisa merasakan kebahagian masa kanak-kanak ku. Sangat menyedihkan, sangat menyakitkan untuk di kenang. Ada banyak keinginan yang tidak mampu di wujudkan, ada banyak harapan yang tidak bisa di kabulkan. Ada banyak hal yang tidak aku alami seperti apa yang teman-teman sebayaku alami. Aku hanya miris hal serupa meninta pada dia, Bocah yang masih sangat bocah telah harus menanggung beban yang tidak seharusnya dia panggul. Aku bersyukur Allah masih memberiku kesempatan luar biasa jauh dari apa yang aku impikan. Allah telah memberiku jalan di antara bentangan benteng yang menghadang. Dan aku masih sangat bersyukur karena hidupku ternyata lebih indah daripada mereka yang berkeliaran di jalanan. Bersama sang mentari yang membakar kulit. Ya, mereka pejuang hidup yang tidak bisa untuk kita remehkan. Hidup memang perjuangan, tapi tidak selayaknya untuk di jadikan alasan mereka harus bertahan dengan cara seperti itu.

Aku percaya kamu akan menjadi orang yang luarbiasa dan tidak akan pernah sama dengan mereka yang tidak pernah tahu getirnya kehidupan. Semoga Allah selalu melindungimu dek. 


Salam cinta dari ku,
Calon sarjana muda Institut Pertanian Bogor.
Bogor,  Februari 2013 



KIKI RIZQI JANUAR

Jumat, 14 Desember 2012

GBBA untuk asrama yang lebih baik..


Awal bulan ini asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB kembali melaksanakan program pendidikan karakter. Asrama sebagai inkubator memang telah memberikan banyak sekali sumbangsih dalam penanaman pendidikan karakter multibudaya bagi mahasiswa di tingkat persiapan bersama (TPB).

Banyak sekali program pembinaan yang telah dilaksanakan, dan hari  ini (15/12/2012), asrama mengadakan program Gerakan Bersih-Bersih Asrama (GBBA) 2012.  Kegiatan ini serentak dilaksanakan di seluruh gedung asrama TPB-IPB  Putra (gedung C-1,C-2, C-3 dan C-4) dari pukul 07.00 sampai dengan selesai.

Bersih-bersih asrama bukan sekedar bersih-bersih tidak bermakna. Ada makna dari setiap kipasan sapu yang menyentuh dengan lembut teras mengibaskan debu yang lama melekat. Menebar senyum dan menggemakan asrama dengan tawa berpadu dengan rasa suka dan duka. Bersama saling bahu membahu. Together to be Better tetap menjadi jargon yang tidak akan terlupa.

Lebih dari tiga puluh lorong di asrama berlomba untuk menjadi yang terbersih dan lebih dari seribu mahasiswa ikut terlibat di dalamnya. Bukan masalah menang atau kalah, GBBA memberi arti lebih dari itu, memberi kesadaran kepada seluruh insan asrama bahwa bukan dia atau mereka, bukan BRT atau SR, tapi menang aku dan kita semualah yang bisa membuat segalanya menjadi bersih dan indah. Tanpa kesadaran kita siapa lagi?.

Gerakan Bersih-Bersih Asrama telah mampu menumbuhkan rasa kebersamaan, rasa cinta akan kebersihan, dan menyadarkan akan pentingnya kenyamanan.  GBBA 2012 harusnya dijadikan program bulanan dari Badan Pengelola Asrama (BPA) bukan hanya ajang bersih sehari dalam setahun. GBBA untuk asrama yang lebih baik.